Malam gaes ! Di malam ganjil ke 25 ini saya kembali terinspirasi nih (terinspirasi mulu ya? kapa nginspirasi orang? :v)  pada seorang tokoh yang sangat saya kagumi ke_-andhap ashorannya (rendah hati). Ya, beliau adalah salah satu pahlawan Nasional Indonesia yang diakui pada 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973. Yuk langsungsaja ke profil beliau.

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785.  Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Sebenernya apa sih asal-usul terjadinya perang Diponegoro yang memakan banyak korban? Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja mataram dengan alasan ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Bisa kebayang nggak si gaes betapa sebalnya Pangeran Diponegoro ini? Beliau sama sekali tak gentar untuk berjuang melawan pemerintahan Belanda, Sampai pada akhirnya, beliau diasingkan ke Manado dan disinilah Pengeran Diponegoro mulai menulis Babad Diponegoro (naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833) yang telah diakui oleh UNESCO pada 21 Juni 2013 sebagai warisan ingatan dunia.
Dari sosok diatas, sungguh betapa kita mempelajari seberpa besarnya perjuangan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang menyadai belaiu bukanlah anak dari seorang permaisuri sehingga tetap andhap ashor dan mau mengayomi masyarakat.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post Navigation